Penalaran Deduktif

Penalaran dibagi menjadi 2 yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif telah saya bahas pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Penalaran Induktif”. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas penalaran deduktif.

Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif menggunakan bentuk bernalar deduksi. Deduksi yang berasal dari kata de dan ducere, yang berarti proses penyimpulan pengetahuan khusus dari pengetahuan yang lebih umum atau universal. Perihal khusus tersebut secara implisit terkandung dalam yang lebih umum. Maka, deduksi merupakan proses berpikir dari pengetahuan universal ke singular atau individual.

Penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.

Contoh :
Sebuah sistem generalisasi.
Laptop adalah barang eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi, DVD Player adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi,
Generalisasi : semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Konklusi dalam sebuah deduksi dapat dipastikan sebagai konklusi  yang benar kalau proposisinya mengandung kebenaran. Uraian mengenai proses berpikir yang deduktif akan dilangsungkan melalui beberapa corak berpikir deduktif, yaitu silogisme, entimem dan rantai deduksi.

Silogisme
Bentuk standar dari penalaran deduktif adalah silogisme, yaitu proses penalaran di mana dari dua proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi).

Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X”, sebenarnya dapat  kita kembalikan ke dalam bentuk formal berikut:
a. Barang siapa melanggar peraturan “X” harus dihukum.
b. Ia melanggar peraturan “X”
c. la harus dihukum.
Bentuk seperti itulah yang disebut silogisme. Kalimat pertama (premis ma-yor) dan kalimat kedua (premis minor) merupakan pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan (kalimat ketiga).
Pada contoh, kita lihat bahwa ungkapan “melanggar …” pada premis (mayor) diulangi dalam (premis minor). Demikian pula ungkapan “harus dihukum” di dalam kesimpulan. Hal itu terjadi pada bentuk silogisme yang standar.
Akan tetapi, kerap kali terjadi bahwa silogisme itu tidak mengikuti bentuk standar seperti itu.
Misalnya:
- Semua yang dihukum itu karena melanggar peraturan
- Kita selalu mematuhi peraturan
- Kita tidak perlu cemas bahwa kita akan dihukum.
Pernyataan itu dapat dikembalikan menjadi:
a. Semua yang melanggar peraturan harus dihukum
b. Kita tidak pernah melanggar (selalu mematuhi) peraturan
c. Kita tidak dihukum.

Silogisme dibagi menjadi 3 yaitu :
1.     Silogisme Kategorial
Silogisme Kategorial adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor (premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).

Secara khusus silogisme kategorial dapat dibatasi sebagai suatu argumen deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga (dan hanya tiga) proposisi kategorial yang disusun sedemikian rupa sehingga ada tiga term yang muncul dalam rangkaian pernyataan itu. 

Term predikat dari konklusi adalah term mayor dari seluruh silogime itu. Sedangkan subyek dari konklusi  disebut term minor dari silogisme, sementara term yang muncul dalam kedua premis dan tidak muncul dalam kesimpulan disebut term tengah.

Contoh :
Semua mamalia binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya. Kerbau termasuk mamalia. Jadi, kerbau : binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya.

Kaidah-kaidah Silogisme Kategorial
1.     Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).
2.     Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga, seperti:
Semua korupsi tidak disenangi.
Sebagian pejabat adalah korupsi, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh: Sebagian pejabat disenangi)

Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan. Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
3.     Dari dua premis yang sama-sama negatif, tidak mendapat  kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantainya hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.
Kerbau bukan bunga mawar.
Kucing bukan bunga mawar
.….. (Tidak ada kesimpulan)

Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk
Tidak satu pun drama Shakespeare mudah dipertunju
Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)
4.     Paling tidak salah satu dari term penengah haru: (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak term menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:
Semua ikan berdarah dingin.
Binatang ini berdarah dingin
Jadi: Binatang ini adalah ikan.
(Padahal bisa juga binatang melata)
5.     Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term predikat yang ada pada premisnya. Bila tidak, kesimpulan menjadi salah, seperti
Kerbau adalah binatang.
Kambing bukan kerbau.
Jadi: Kambing bukan binatang.
(‘Binatang’ pada konklusi merupakan term negatif sedang-kan pada premis adalah positif)
6.     Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna maka kesimpulan menjadi lain, seperti:
Bulan itu bersinar di langit.
Januari adalah bulan.
Jadi: Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayorberarti planet yang mengelilingi bumi).
7.     Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, predikat, dan term menengah ( middle term ), begitu juga jika terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan konklusinya.

2.     Silogisme Hipotetis
Silogisme hipotetis atau silogisme pengandaian adalah semacam pola penalaran deduktif yang mengandung hipotetis. Silogisme hipotetis bertolak dari suatu pendirian, bahwa ada kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi. Premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotetis. Oleh sebab itu rumus proposisi mayor dari silogime ini adalah :
Jika P, maka Q

Contoh :
Jika nanti malam turun hujan maka saya tidak jadi pergi.

Walaupun premis mayor bersifat hipotetis, premis minor dan konklusinya tetap bersifat kategorial. Premis mayor sebenarnya mengandung dua pernyataan kategorial. Bagian pertama disebut anteseden, sedangkan bagian yang kedua disebut akibat. Dalam silogisme hipotetis terkandung sebuah asumsi, yaitu kebenaran anteseden akan mempengaruhi kebenaran akibat; kesalahan anteseden akan mengakibatkan kesalahan pada akibatnya.

Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetis:
1.     Silogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2.     Silogisme hipotetis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3.     Silogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4.     Silogisme hipotetis yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Kaidah-kaidah Silogisme Hipotetis
Mengambil konklusi dari silogisme hipotetis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorial. Tetapi yang penting di sini dalah menentukan ‘kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum silogisme hipotetis adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dengan penyelidikan berikut:
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yang diakui kebenarannya
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.

3.     Silogisme Alternatif/Silogisme Disjungtif
Jenis silogisme yang ketiga adalah silogisme alternatif atau disebut juga silogisme disjungtif. Silogisme ini dinamakan demikian, karena proposisi mayornya merupakan sebuah proposisi alternatif, yaitu proposisi yang mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan. Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi silogisme ini tergantung dari premis minornya; kalau premis minornya menerima satu alternatif, maka alternatif lainnya ditolak; kalau premis minornya menolak satu alternatif, maka alternatif lainnya diterima dalam konklusi.

Contoh :
Untuk menempuh perjalanan ke Jogja kita bias menggunakan kereta atau pesawat. Saya memilih menggunakan kereta.

Silogisme ini ada dua macam, yaitu :
1.     silogisme disjungtif dalam arti sempit
mayornya mempunyai alternatif kontradiktif,seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
la bukan tidak lulus.
2.     silogisme disjungtif dalam arti luas
mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Hasan di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi di pasar.

Silogisme disjungtif dalam arti sempit maupun arti luas mempunyai dua tipe yaitu:
1.     Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain, seperti:
la berada di luar atau di dalam.
Ternyata tidak berada di luar.
Jadi ia berada di dalam.
Ia berada di luar atau di dalam.
Ternyata tidak berada di dalam.
Jadi ia berada di luar.
2.     Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain, seperti:
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di masjid.
Jadi ia tidak berada di sekolah.
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di sekolah.
Jadi ia tidak berada di masjid.

Kaidah-kaidah Silogisme Disjungtif
1.     Silogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid, seperti :
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata berbaju putih.
Jadi ia bukan tidak berbaju putih.
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata ia tidak berbaju putih.
Jadi ia berbaju non-putih.
2.    Silogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusi adalah sebagai berikut:
a.  Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar), seperti:
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b.  Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah), seperti:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Solo. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Budi menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang).

Entimem
Silogisme sebagai suatu cara untuk menyatakan pikiran tampaknya bersifat artifisial. Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua proposisi, salah satunya dihilangkan. Walaupun dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran itu dan dianggap diketahui pula oleh orang lain.

Bentuk semacam ini dinamakan entimem (dari enthymeme, Yunani. Lebih jauh kata itu berasal dari kata kerja enthymeisthai yang berarti ‘simpan dalam ingatan’). Dalam tulisan-tulisan bentuk ilmiah yang dipergunakan, dan bukan bentuk formal seperti silogisme.

Contoh :
PU               : Jika Irfan tidak menikah cepat, Irfan akan dimarahi Kartika
PK                : Irfan mau menikah cepat.
K                 : Irfan tidak dimarahi Kartika.
Entimem      : Irfan tidak dimarahi Kartika karena Irfan mau menikah cepat.

Rantai Deduksi
Seringkali penalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimem. Orang-orang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang  dalam bentuk-bentuk yang informal.

Yang penting dalam mata rantai deduksi ini, penulis harus mengetahui norma dasar, sehingga bila argumennya mendapat tantangan atau bila ia sendiri ragu-ragu terhadap argumen orang lain, ia dapat menguji argumen ini untuk menemukan kesalahannya dan kemudian dapat memperbaikinya, baik kesalahan itu terjadi karena induksi yang salah, entah karena premis atau konklusi-konklusi deduksi yang salah.


Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar